Jember, Wartajember– Kawasan lereng selatan Gunung Hyang Argopuro, Kecamatan Panti Jember menyimpan kearifan lokal yang terus dipertahankan oleh masyarakat sekitar yaitu tradisi tilik Tujuh Sumber. Tradisi ini bukan sekadar ritual, melainkan perwujudan filosofi hidup yang menyatukan nilai spiritual, sosial, dan ekologis dalam satu tarikan napas.
Tujuh mata air yang tersebar di beberapa desa di Kecamatan Panti, Kabupaten Jember, dianggap sebagai simbol kehidupan oleh warga setempat. Air dari sumber ini diyakini membawa keberkahan dan keseimbangan, karena dianggap telah menyerap doa dan energi dari alam.
“Bagi kami, air dari Tujuh Sumber bukan sekadar untuk diminum. Ia mengandung makna spiritual. Ada doa, ada berkah, ada pesan kehidupan di dalamnya,” ujar Irham Fidaruzziar, Ketua Karang Taruna Kecamatan Panti.
Salah satu lokasi tersebut adalah Balong Keramat. Balong ( kolam air)itu menjadi bagian dari sejarah penyebaran Islam oleh Kiai Muhammad Nur, pendiri Pondok Pesantren Nahdlatul Arifin.
Mohammad Noer seorang tokoh ulama yang dikenal luas oleh masyarakat , bahkan hingga ke luar daerah seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan negara tetangga Malaysia dan Brunei. Setiap tahun, banyak yang hadir untuk memperingati haul karomahnya tanggal 26 Bulan Maulid atau Robiul Awal. Kepala Desa Kemuningsari Lor Kecamatan Panti Jember, Abdul Wakik mengatakan, Mbah Yai sapaan Syekh Mohammad Noer itu terlahir pada tahun 1808 dengan nama kecil Abubakar di Desa Patalagan, Kecamatan Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Pada masa kelahirannya, Indonesia sedang menderita di bawah penjajahan Belanda di bawah Gubernur Jenderal Mr. Herman Willem Daendels. Sejak kecil, Mohammad Noer sudah menunjukkan kecerdasan luar biasa yang membuatnya disegani oleh teman-temannya dan gurunya.
Kedatangan Syekh Mohammad Noer ke Desa Kemuningsari Lor pada tahun 1870 an ini merupakan kunjungan yang keduakalinya, beliau disambut dengan hangat oleh Kepala Desa Hasan Muhyi dan keluarganya, bahkan dinikahkan dengan putrinya karena jasanya telah membantu polemik di Desa ini pada kunjungan pertamanya.
Dua tahun setelah pernikahannya dengan Kasmirah pada tahun 1872, Syekh Mohammad Noer diberi tugas sebagai carik atau sekretaris desa. Namun, tak lama kemudian beliau mengundurkan diri dan mulai fokus merintis pendirian sebuah pondok pesantren.
Lebih lanjut Abdul Wakik juga menjelaskan Tradisi haul Kiai Muhammad Nur tiap tahun dirangkaikan dengan kirab hasil bumi, yang diikuti ribuan warga dari berbagai daerah.
“Kami menjadikan kegiatan ini bukan hanya peringatan keagamaan, tapi juga sarana memperkuat ikatan sosial dan mengenalkan nilai-nilai leluhur kepada generasi muda,” tuturnya.
Tak hanya bernilai rohani, kegiatan ini juga berdampak positif terhadap ekonomi lokal. Selama prosesi berlangsung, warga membuka lapak makanan tradisional dan produk kerajinan, membuat omzet pedagang naik drastis dibanding hari biasa.
Tradisi Tujuh Sumber menjadi bukti bahwa kearifan lokal masih bisa bertahan di tengah arus modernisasi. Dengan menjaga hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta, masyarakat Panti terus meneguhkan jati diri mereka sebagai pewaris budaya spiritual dari lereng Argopuro. ( Adv )
No comments:
Post a Comment